ILMU DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat
QS. 58: 11
“Ketika manusia terlahir ke dunia, ia mengetahui segala sesuatu. Dan yang dilakukan oleh seorang guru hanyalah mengingatkan (to remember). Manusia menjadi lupa akan ilmu tersebut ketika berpindah dari alam spiritual ke alam materi.
Dalam pandangan penulis, klaim ini lemah. Al-Quran secara jelas mengatakan bahwa sebelum dilahirkan kita tidak mengetahui sesuatu pun, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16]:78).
`        Kata “Sesuatu pun” ditulis dalam format kata benda nakirah dalam konteks ‘nafi’ untuk menunjukkan kemutlakan. Kemudian Allah mengatakan bahwa untuk kalian diberikan telinga, mata dan hati (af`idah) untuk memperoleh pengetahuan Af’idah. Kata jamaknya adalah fu’ad yang berarti hati, kalbu dan ruh, yakni fakultas untuk mempersepsi sesuatu.
Terkadang kita kurang memahami bagaimana mungkin ilmu bisa diperoleh. Dan bagaimana proses pentrasferan ilmu tersebut. Ilmu tidak memiliki potensi untuk dipindahkan. Dalam hal ini, ilmu tidaklah terlepas dalam dua kategori. Pertama, Ilmu adalah ‘kaifiyat an nafsaniyah (kualitas mental/psychic quality), yaitu aksiden (‘ardh); atau kedua, ‘wujud khusus’. Nah, kedua kategori tersebut tidak bisa dipindahkan kepada yang lain. Oleh karena itu, para filosof berprinsip bahwa aktivitas pembelajaran intinya adalah menghubungkan premis-premis (mukadimah) dengan akal aktif (akal fa’al/ intellectus agens). Ibarat matahari yang menyinari hal-hal yang tidak diketahui. Itulah yang dilakukan oleh akal aktif sehingga membuat seseorang menemukan realitas. Jadi jiwa yang menyatu dengannya akan mencerap realitas-realitas.
B.   Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.     Apakah pengertian ilmu dan alquran?
2.     Bagaimanakah ilmu dalam perspektif al-Qur’an?
3.     Bagaimana pemahaman ayat al-Qur’an tentang ilmu dan kontekstualisasi pada bidang pendidikan?
C.   Metode Penelitian
1.   Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah historis. Pendekatan historis digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji ilmu dalam al-Qur’an serta metode memperolehnya untuk kemudian mendeskripsikannya.
2.   Metode Pengumpulan Data
Karena jenis penelitian ini adalah library research, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data pustaka dari literatur-literatur yang berhubungan dengan ilmu perspektif al-Qur’an.
3.   Metode Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini, maka metode pembahasan dalam penelitian ini dilakukan secara per bab. Metode ini dipakai untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis sehingga mampu memberikan kemudahan dalam memahami permasalahan yang sedang dibahas.
4.   Metode Analisis
Adapun untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini digunakan penulis untuk mendeskripsikan (menggambarkan) cara memperoleh ilmu.
D.   Sistematika Pembahasan
Supaya dalam penelitian ini dapat tersistematisir dengan baik, maka perlu diperjelas sistematika pembahasannya, yakni:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi pengertian Ilmu dan al-Qur’an, ilmu dalam perspektif al-Qur’an, metode memperoleh ilmu,
 Bab ketiga merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian ilmu dan al-Qur’an
      Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya
          Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang tertentu. Dari segi filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Islam sangat memperhatikan, menghormati, dan menjunjung tinggi martabat ilmu dan orang yang memiliki ilmu, sebagaimana firman Allah SWT:
“…niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Al-Mujadilah: 11)
Berangkat dari ayat diatas dikemukakan bahwa dalam ajaran Islam pengertian ilmu bukan hanya didasarkan pada jumlah ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia. Dalam hadits, anas bin malik r.a berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Tuntutlah ilmu sesuai kehendakmu. Demi Allah kalian tidak akan diberi pahala dengan seluruh ilmu hingga kalian mengamalkannya.” (HR, Abul Hasan bin Al Ahzam)[1]
Al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksiNya kepada Nabi Muhammad Saw., dan diterima oleh umat Islam.[2]
                   Kata ilmu terulang-ulang dalam al-Qur’an 854 kali. Ilmu dari segi bahasa artinya kejelasan. Coba kita cocokkan dengan kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat). Walaupun berasal dari wazan alama, harakat berbeda sudah berbeda makna. Selain kata ilmu yang termaktub dalam al-Qur’an adalah ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan).
B.   Ilmu dalam perspektif al-Qur’an
Sebelum memaparkan penjelasan ilmu dalam perspektif al-qur’an, penulis memaktubkan sebagian ayat yang menjelaskan tentang ilmu.
“Mereka menjawab, “Maha suci engakau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yamg telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Bijaksana”(QS. Al-Baqarah: 32)
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit” (QS. Al-Isra’: 85)
 Ditinjau ayat Al-Qur’an tersebut mengatakan; “Allah memberikan ilmu”
Hal ini sangat terkait ketika seorang guru mengajarkan ilmu, sejatinya Allah-lah yang menganugerahkan ilmu tersebut. Sebab ilmu adalah wujud (eksistensi) dan yang mewujudkannya adalah Allah sendiri. Missal juga, seorang petani bekerja mencangkul tanah dan menyiran air, tetapi perlu diketahui bahwa yang menumbuhkan hakekatnya adalah Allah. Dalam al-Qur’an surat al-Waqi’ah: 64 dikatakan: “kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?”, dalam keadaan manusia menyakini ataupun tidak, jika seluruh kondisi dan syarat telah sempurna (dalam merawat tanaman) sampai bisa memanen hasilnya sesungguhnya Allah-lah yang memberi anugerah secara mutlaq.
Sebagaimana yang diutarakan al-Ghazali bahwa ilmu itu semata-mata milik Allah, sedang manusia diberi haq untuk mencari dan mengembangkannya sesuai kemampuan.[3] Walaupun manusia mempunyai ilmu yang sedikit namun ilmu itu bisa dikembangkan supaya ilmu manusia bertambah dan bertambah. Rasul juga menekankan pentingnya ilmu bagi setiap muslim dan muslimat. Salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr yang berbunyi: Ilmu itu wajib bagi setiap pribadi muslim).[4] Rasul juga menganjurkan umat manusia supaya memperkaya ilmu pengetahuannya, “Carilah ilmu walau ke negeri cina”[5]
Selain itu, ilmu dalam pandangan al-Qur’an prinsipnya adalah pada wahyu pertama Nabi yang termaktub pada surat al alaq ayat 1-5. Iqra’ diambil dari akar kata yang artinya menghimpun. Dari menghimpun berkembang arti menjadi menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui cirri sesuatu dan mebaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi rabbika
C.   Pemahaman ayat al-Qur’an tentang ilmu dan kontekstulisasi
Dalam sebuah pemahaman mempunyai peranan penting dalam kemajuan atau kemunduran. Ali Syari’ati (1933-1977) seorang sarjana Iran yang meninggal di parantauan Inggris, menyatakan bahwa factor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari aristoteles. Dikala cara melihat masalah dan obyek itu berubah, maka sains, masyarakat dan dunia juga berubah akibatnya kehidupan manusia juga berubah. Kita disini menggarap kebudayaan, pemikiran dan gerakan ilmiah, dan oleh karena itu kita menganggap bahwa perubahan metodologi adalah factor yang fundamental dalam Renaisans.[6] 

0 komentar:

Posting Komentar